Pages

Minggu, 07 April 2013

Tafsir Bil Ma'tsur dan Tasfir Bir Ra'yi


I. PENDAHULUAN
         Al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai kalam Allah SWT yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Sebagai petunjuk hidup, tentu manusia harus berupaya memahaminya dengan pemahaman yang mendekati pemiliknya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan.
         Dalam perspektif 'ulum al-Qur'an, setidaknya ditemukan dua terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir bil ma'tsur dan tafsir bir ra'yi. Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Sedangkan tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.[1]
         Oleh karenanya perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam kedua tafsir tersebut sehingga pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal, baik tafsir bil ma'tsur maupun bir Ra'yi dan pada akhirnya bisa ditemukan titik temu diantara keduanya.
         Dari uraian diatas, maka dalam pembahasan kali ini yang akan dikaji adalah
a.        Tafsir bil ma'tsur
b.       Tafsir bir Ra'yi
c.        Kelebihan dan kekurangan keduanya


II. PEMBAHASAN
Secara tekstual tafsir bisa berarti jelas, nyata, terang, dan memberikan penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan al-Qur'an, tafsir diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh atau ayat al-Qur'an. Tegasnya, tafsir sesungguhnya merupakan upaya untuk memahami pesan-pesan al-Qur'an.[2]
Tentu perlu kiranya sebelum mengetahui apa kelebihan dan kekurangan dari tafsir bil ma'tsur ataupun bir ra'yi, maka kami uraikan keduanya sehingga bisa bisa dipahami maksud dari kedua tafsir tersebut, sebagai berikut:
A. Tafsir bil Ma'tsur
Tafsir bil ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur'an atau riwayat yang sahih yang sesuai dengan urutan dalam syarat-syarat mufassir. yaitu menafsirkan al-QUr'an dengan al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi'in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat[3].
Imam Al-hakim berkata; "sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunnya adalah memiliki hukum marfu' artinya, bahwa tafsir para sahabat itu mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan hadis nabawi yang diangkat kepada Nabi SAW. dengan demikian, tafsir sahabat itu termasuk ma'tsur[4]
Adapun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab[5]
   Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan pendapat mengenai tafsir bil ma'tsur, yang menjadi persoalan dalam kajian al-ma'tsur adalah
1. Apakah yang dimaksud dengan al-ma'tsur tersebut, penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat, atau
2. Menafsirkan al-Qur'an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi oleh Nabi berupa al-Qur'an dan sunnah serta pendapat sahabat
      Dalam hal yang pertama, ma'tsur menjadi sifat bagi tafsir, dan dalam yang kedua, ma'tsur menjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran.
      Jika yang pertama diterima, maka tafsir bil ma'tsur ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikembangkan lagi. Dalam hal ini, tugas mufasir hanya meneliti sanadnya; apakah sahih atau tidak? jika ternyata sahih, maka penafsiran tersebut diterima, tapi jika tidak, maka penafsiran itu ditolak. Apabila pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bil ma'tsur dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman karena dalam pengertian yang kedua itu masih terbuka bagi ulama untuk mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an.
      Kedua pemahaman itu tidak bertentangan karena yang pertama, merupakan pengertian sempit bagi al-ma'tsur, sementara yang kedua adalah pengertian yang lebih luas.Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk berijtihad dalam penafsiran, namun tidak sampai kepada wilayah tafsir bir ra'yi
   Dengan perkataan lain tafsir bil ma'tsur itu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar; sedangkan tafsir bir ra'yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argument berupa ayat-ayat al-Qur'an, sunnah Nabi, dan sebagainya untuk mendukung penafsiran tersebut.[6]
Nabi Muhammad bukan hanya bertugas menyampaikan al-Qur'an, melainkan sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di dalam surat al-Nahl ayat 44:
" وَاَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ ... "
(… dan kami turunkan kepadamu al dzikir (al-Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturnkan kepada mereka…)
dan ayat 64
 "وِمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوْا فِيْهِ .. "
( Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di dalamnya…..)
Kecuali penafsiran dari Nabi SAW, ayat-ayat tertentu juga berfungsi menafsirkan ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukkan oleh nabi bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir bil ma'tsur (tafsir melalui riwayat).
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi SAW secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan) ilmu ilmu Islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran serupa itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang disebut dengan tafsir bil ma'tsur atau disebut juga tafsir bir riwayah[7].
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur'an pada masa ini berpegang pada:
1).    Al-Qur'an al-Karim
Apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oelh ayat yang lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah ynag dinamakan "tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an"


2).    Nabi Muhammad SAW
Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) al-Qur'an otoritas. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad SAW
3).    Pemahaman dan ijtihad.
Para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya[8]
               Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi'in yang notabenenya menjadi murid mereka pun, banyak pakar dibidang tafsir. dalam menafsirkan, para tabi'in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri
            Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur'an. mereka hanya menafsirkan bagain-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa nabi dan sahabat. Masa para tabi'in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. karenanya  mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi'in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur'an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Qur'an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya[9]
            Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir yang dapat diringkas sebagai berikut:
a.       Akidah yang benar
b.      bersih dari hawa nafsu
c.       menafsirkan lebih dahulu al-Qur'an dengan al-Qur'an
d.      mencari penafsiran dari sunnah
e.       Apabila tidak didapatkan penafsiran dalamn sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat
f.       Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur'an, sunnah, dan pandangan para sahabat, maka sebagaina besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada pendapat para tabi'in, seperti mujahid bin Jabr, Sa'idn bin Jubair, dan lain-lain
g.      Pengetahuan bahasa Arab yang baik
h.      pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an, seprti ilmu qira'at
i.        pemahaman yang cermat[10]
 Metode tafsir bil ma'tsur mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang shahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu:
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Yang pertama-tama adalah dengan mendahulukan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Karena Al-Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya.
Contoh, seperti firman Allah:
أُحِلَّتْ لَكُمُ اْلاَنْعَامُ اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
Artinya ; telah dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan dibacakan kepadamu …. (QS. al-Hajj: 30 )
kata: اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ditafsirkan dengan ayat lain;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَ لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وِمَاأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Artinya; diharamkan bagi kamu (memakan0 bangkai, darah, daging babi dan (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah ( QS. al-Maidah : 3)[11]

2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits:
Yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan Hadits, karena sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an.
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
اَلَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إِيْمَانُهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الاَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
Artinya; orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-oramng yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-An'am: 82)
            Nabi SAW, menafsirkan lafal adh-zulmu (اَلظُّلْمُ ) dengan asy-syirku            ( (اَلشِّرْك.penafsiran demikian dikuatkan oleh firman Allah SWT:
لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Artinya : Janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ( QS.Luqman: 13)[12]
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat:
Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah hidup, berjumpa dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka inilah yang menyaksikan langsung ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, dan juga mengetahui asbabun nuzul. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan Hadits atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat tersebut dengan menggali pendapat para sahabat.
Contohnya, ketika Ibnu Abbas menafsirkan QS. al-Anfal ayat 41:
وَاعْلَمُوْ اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْئٍ فَاَنَّ للهِ خُمُسَهُ وَ لِلرِّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اَمَنْتُم بِاللهِ وَ مَااَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَنِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: "ketahuilah sesungguhnya apa saja yang kamuperoleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan pada hamba kami 9Muhammad0 di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu
Ayat diatas menjelaskan bahwa seperlima ghanimah dibagi untuk : (10 Allah dan rasulnya,(2) kerabat rasul, (3) anak yatim, (40 orang miskin, (5) ibnu sabil. sedang empat perlima ghanimah dibagi pada mereka yang ikut perang. Ketika rasulullah hidup seperlima ghanimah dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum diatas. setelah nabi wafat, gugurlah hak Nabi dan kerabatnya. hal ini berdasarkan pada tradisi para sahabat: Abu bakar, Uamr bin Khattab, Utsman ibn 'Affan dan 'Ali bin Abi Thalib dimasa kekhalifahannya mereka membagi ghanimah kepada tiga bagian, yaitu untuk anak yatim yang bukan dari keluarga bani Muthalib, orang miskin yang bukan keluarga Bani Muthalib dan kepada Ibnu sabil yang lemah dan membutuhkan pertolongan[13]
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:
Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat, disyaratkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in. Diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih..[14]
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas)[15]

B. Tafsir bir Ra'yi
      Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H.dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, merka mencari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bir ra'yi ( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad)[16]
      Pendek kata, berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seprti tafsir al-manar dan al-jawahir. melihat perkembangan tafsir bir ra'yi yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan manna' al-Qathtan bahwa tafsir bir ra'yi mengalahkan perkembangan al-ma'tsur.[17]           
      Meskipun tafsir  bir ra'yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi (redaksional). maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra'yi ( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan criteria yang berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu'tabarat (diakui sah secara bersama)[18]
   Secara bahasa al-ra'yu berarti al-I'tiqadu (keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-tadbiru ( perenungan). Ahli fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra'yu. Karena itu tafsir bi al-ra'yu disebut sebagai ashab al-ra'yu. karena itu tafsir bi al-ra'yi disebut tafsir bi al-'aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
   Menurut istilah, tafsir bi al-Ra'yi adalah  upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir[19]
   Jadi jelas, bahwa tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagai hanya semaunya saja[20]
   oleh karana itu jika menfsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan, firman Allah:
 وَ لاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
" dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang padanya kamu tidak mempunyai pengetahuan" (al-Israa:36)
Rasulullah bersabda;
 مَنْ قَالَ فِي الْقُرْانِ بِرَأْيِهِ _ أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَم _ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"barangsiapa berkata tentang al-QUr'an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka[21]
    Tentang penggunaan akal dan pemikiran filsafat secara sehat dan benar, maka hal itu dibenarkan dalam al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, bahwa bila kita berdebat dan konfrontasi hendaknya dilakukan secara bijaksana, dan juga dinyatakan bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasyabih atau juga sama-sama di ketahui bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an dhilalahnya bersifat zhanni dan untuk mengambil hukum dari padanya diperlukan suatu pemikiran, demikian pula dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang bersifat filosofis, belum lagi al-Qur'an ditinjau dari segi seni dan sastra Arab.[22]
   Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, dan dalam rangka menjaga mufassir agar tidak melakukan kesalahan dan menafsirkan al-Qur'an, maka perlu rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seseorang untuk menafsirkan al-Qur'an. berikut ini syarat-syarat bagi mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an:
a.       Mengetahui hadits Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah
b.      mengetahui bahasa Arab
c.       menguasai ilmu nahwu
d.      menguasai ilmu sharaf
e.       mengetahui sumber pengambilan kata
f.       mengetahahui ilmu balaghah
g.      mengetahui ilmu qira'at
h.      mengetahui ilmu ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid
i.        mengetahui ilmu ushul Fikih
j.        mengetahui sebab-sebab turun ayat
k.      mengetahui kisah-kisah di dalam al-Qur'an
l.        mengetahui nasikh dan mansukh
m.    harus mengamalkan apa yang dia ketahui
   Dari syarat-syarat mufassir bir ra'yi diatas. Husein al-Dzahabi meyimpulkan bahawa ada beberapa ilmu yang harus dikuasai seorang mufassir, yaitu: ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu al-Isytiqaq, ilmu al-Ma'ani, Ilmu al-bayan, ilmu al-badi', ilmu al-Qira'at, ilmu Ushul al-Din, ilmu ushul al-fiqh, ilmu asbab an-nuzul, ilmu al-qashash, ilmu nasikh dan mansukh, haids-hadis yang menjelaskan ayat-ayat mujmal dan mubham dan ilmu al-Mauhibah.[23]
   Adapun sumber-sumber penafsiran bir ra'yi sebagai berikut:
a).    al-Qur'an
b).   mengutip dari R-asulullah SAW dan menjaga serta menghindari ahis dha'if dan maudhu'
c).    mengambil penafsiran sahabat yang shahih
d).   mendasarkan kepada bahasa Arab, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab
e).    Tafsir yang dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai dengan kekuatan hukumnya[24]
Langkah-langkah yang dijadikan  rujukan tafsir bir ra'yi:
a.       Tafsir dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya, tanpa pengurangan dan tambahan yang tidak perlu
b.Teliti dan  jeli melihat makna hakiki dan makna majazi
c.       teliti dalam melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat, yang sesuai dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan
d.      melihat persesuaian (munasabah)
e. menyebutkan asbab al-nuzul ayat
f.       menganalisis dan menjelaskan mufradat (lafadz-lafadz), dan dirivasinya serta asal katanya
g.menghindari penjelasan panjang bagi ppengulangan-pengulangan
h.melakukan tarjih (pengunggulan satu atas yang lain)[25]
      Wilayah ijtihad Tafsir bir Ra'yi sebagai berikut:
a).    lafadz ( kata dalam bahasa Arab) kadang maknanya jelas dan kadang juga tidak jelas. Mufasir harus mengetahui bahwa suatu lafadz senantiasa mengandung makna relative (beberapa makna), sehingga yang dilakukan muufasir adalah ijtihad dalam rangka menemukan makna yang dikehendaki
b).   kata-kata yang tidak jelas (mubham) memiliki beberapa tingkatan.Ada lafadz mubham (tidak jelas) tetapi bisa dijelaskan oleh seorang mufasir. Ini termasuk dalam wilayah ijtihad tafsir bir ra'yi
c).    ada yang disebut dengan al-khafi yaitu lafadz yang tingkat  ketidak jelasannya paling sedikit, sehingga tidak membebani mufassir untuk menjelaskannya
d).   Ada yang disebut dengan musykil, yaitu lafadz yang tingkat mubhamnya lebih banyak dari sebelumnya, lebih banyak dari al-khafi. untuk lafadz yang musykil ini, dibutuhkan ijtihad mufassir
e).    ini seperti bentuk musytarak-satu lafadz mengandung beberapa makna- adalah salah satu bentuk lafadz al-musykil, yang membutuhkan penjelasan dan penetapan satu makna saja dari dua atau lebih makna yang terkandung di dalamnya. ini memerlukan ijtihad seorang mufassir untuk menentukan makna dimaksud
f).    wilayah ijtihad dalam upaya meletakkan atau memposisikan lafadz pada makna
g).   wilayah ijtihad terkait ketika kita beralih pada dalalah al-fadz terhadap makna[26]
Tafsir bir ra'yi dibedakan menjadi dua macam:
1.      Tafsir bir Ra'yi Mahmudah (terpuji)
         Tafsir bir ra'yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur'an. Barang siapa menafsirkan al-Qur'an menurut logikanya dengan memperhatikan ketentuan-ketentau tersebut, serta berpegang pada makna-makna al-Qur'an, maka penafsirannya dapat diterima dan patut dinamai dengan tafsir bir ra'yi mahmud
         Contohnya:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هَدِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الاَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
Artinya; "barangsipa yang buta (hati) di (dunia) ini, niscayaia akan buta pula di akhirat dan lebih sesat jalannya". (QS. Al-Isra': 72)
         Orang tidak paham akan berpendapat bahwa setiap orang yang buta akan mengalami nasib celaka, rugi, dan masuk neraka. Padahal yang dimaksudkan buta disini bukanlah buta mata, melainkan buta hati berdasarkan firman Allah 'Azza wa jalla yang berbunyi:
فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلاَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى اْلُقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
Artinya : sesungguhnya mereka bukanlah buta mata, tetapi buta hati yang dalam dada ". (QS al-Haj:46)[27]

2.      Tafsir bir Ra'yi Madzmum (tercela)
         Tafsir bir Ra'yi dianggap tercelaa bila menafsirkan qur'an menurut selera penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa Arab, maka tafsir model ini ditolak dan termasuk tafsir al-madzmum (tercela)[28]
         Berikut ini contoh tafsir bir ra'yi al-madzmum:[29]
 يَوْمَ تَدْعُوْ كُلَّ أُنَاسِ بِإِمَمِهِمِ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَبَهُ بِيَمِيْنِهِ فَاُلَئِكَ يًقْرَئُونَ كِتَبَهُمْ وَلاَيَظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً
Artinya "(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun" (QS al-Isra')
         Orang " bodoh" menjelaskan maksud kata الامام dengan الامهات padahal maknanya sangat berbeda. Diamenduga bahwa kata الامام adalah bentuk plural (jama') dari kata ام padahal tidaklah demikian menurut bahasa arab. karena bentuk plural (jama') dari الام adalah امهات, sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتِكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ وَخَلَتُكُمْ وَبَنَاتُ الاْأَخِ وَتَنَاتُ اْلاُخْتِ وَ أُمَّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ
Artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan: saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu" (QS. an-Nisa:23)
         Jadi tidak ada dalam nash al-Qur'an yang menyebut bentuk plural (jama') الام          menjadi امام         karena hal ini merusak secara bahasa maupun hukum. Dan yang dimaksud Imam disini adalah nabi yang diikuti oleh para pengikutnya
         Beberapa tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazin[30].
C. Kelebihan dan keurangan Tafsir bil Ma'tsur dan bir ra'yi
1. Tafsir bil Ma'tsur
kelebihan
         Tafisr bil ma'tsur ini lebih banyak memakai riwayat ketimbang tasfir bir ra'yi. Selain itu tafsir bil ma'tsur ini diterima dan diriwayatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi'in dari mulut ke mulut dengan menyebutkan para perawinya mulai Nabi SAW terus kepada perawi terakhir.[31]
         Menurut Quraisy Sihab bahwa keistimewaan tafsir bil ma'tsur adalah
a).    menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an
b).    memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c).    mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan[32]
kekurangan
         Penafsiran al-Qur'an dengan sebagiannya dan penafsiran al-Qur'an dengan hadis sahih yang sampai kepada rasulullah SAW, maka tidak diragukan lagi bisa diterima dan tidak ada perbedaan, ia merupakan tingkatan tafsir yang tertinggi[33]
         Mula-mula tafsir bil ma'tsur ditulis lengkap dengan sanadnya seperti dalam tafsir al-Thabari, tapi kemudian bagian sanad dihilangkan sehingga tak diketahui lagi perbedaan tafsir  yang berasal dari Nabi dan sahabat dengan tafsir isra'iliyyat, yang dipalsukan dan sebagainya[34].
         Menurut adz-Dzahabi israiliyat diartikan sebagi cerita atau berita yang diriwayatkan dari sumber israil ( Yahudi). Masuknya israiliyat ke dalam penafsiran al-Qur’an sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu sesaat setelah Rasulullah wafat.  Ini didasarkan atas fak ta sejarah bahwa tokoh-tokoh mufassir al-Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuh Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an. Ibnu Abbas, yang terkenal sebagai tokoh mufasir terkemuka pada masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini dalam karya tafsirnya[35]
         Adapun contoh dari tafsir israiliyat ini seperti membahas perkara-perkara yang sebenarnya tidak begitu perlu dan berguna untuk mengetahuinya dalam rangka penafsiran al-Qur’an, seperi tentang warna anjing (ashabul kahfi) dn namanya, ukuran perahu nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak kecil yang dibunuh nabi Khidir dan lain-lain[36]
         Ada beberapa hadis Rasulullah yang dianggap semacam dasar dalam masalah ini, berikut ini akan dikemukakan tiga buah hadis yang terpenting diantaranya:
a).      Hadis riwayat imam Bukhari dari Abu Hurairah:
كاَنَ اَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُوْنَ التَّوْرَةَ باِلْعَرَابِيَّةِ وَ يَفْسِرُوْنَهَا بِالْعَرَابِيَّةِ ِلأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص م لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَ لاَ تُكَذِّبُوْهُمْ وَقُوْلُوْا اَمَنَّا بِاللهِ ..
Dari hadits ini secara sepintas dapat dipahami bahwa rasulullah menyurug bersikap “tawaqquf” terhadap berita-berita yang dikemukakan ahli kitab, yaitu tidak membenarkan dan tidak mendustakan. Akan tetapi, hadis ini bersifat mujmal sehingga memerlukan perincian lebih jauh, bagaimana aplikasinya.[37]
b).      Hadis riwayat imam bukhari dari abdullah ibn Amr ibn al-ash.
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْاَيَةً. وَحَدِّثُوْا عَنِّىْ بَنِىْ اِسْرَائِيْلَ وَلاَحَرَحَ مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Hadis ini jelas membolehkan kaum muslimin meriwayatkan berita-beritadri ahli kitab. Yang dilarang adalah bila mengada-ada dengan sengaja sesuatu yang tidak benar bersumber dri rasulullah. Hadis ini juga masih perlu penjelasan terutama dalam hubungannya dengan hadis pertama[38]
c).      Hadis riwayat Imam ahmad, Ibn Abi Syaibah dan bazzar dan Jabir ibn abdillah
 أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَ تَى النَّبِيَّ ص. م. بِكِتَابِ أَصَابِهِ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكِتَابِ فَقَرَأَهُ عَلَيْهِ فَغَضَبَ فَقَالَ: أمتهُوْكُوْنَ فِيْهَا يَاابْنَ الْخَطَّابِ. وَالَّذيْ نَفْسِىْ بِيَدِهِ لَقَدْجِئْتُكُمْ بهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّة لاَ تَسْأَلُوْابِهِمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْابِهِ أَنْ يُبَاطِلَ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ. وَالَّذِيْ نَفْسِىَ بِيَدِهِ, لَوْ أَنَّ مُوْسَى . كَانَ حَيَّا مَا وَسَعَهُ اِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِىْ
Dalam hadis ini ada semacam larangan rasulullah untuk menanyakan segala sesuatu kepada ahli kitab, karena dikhawatirkan, jika jawaban mereka itu benar lalu didustakan atau sebaliknya. Jika itu terjadi, akan menjadi dosa. Hadis ini juga memerlukan penjelasan, utamanya dalam kaitannya dengan kedua hadis terdahulu, apakah mengandung pertentangan atau tidak.
   Tampaknya, para ahli tidak sependapat dalam memahami hadis ketiga diatas, sehingga terjadi perbedaan sikap dan penialaian mereka terhadap israiliyat[39]
         Mengenai penafsiran al-Qur'an dengan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in, mengandung banyak kelemahan karena beberapa sebab:
a.       banyak riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam, seperti yang disisipkan oleh orang-orang zindiq, baik dari bangsa yahudi maupun bangsa persi
b.      usaha-usaha yang dilakukan oleh penganut-penganut mazhab yang terlalu jauh menyimpang dari kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kaum Syiah yang telah menyandarkan kepada Ali ra
c.       bercampur baurnya riwayat-riwayat yang shahih  dengan  tidak shahih dan banyaknya ucapan-ucapan yang dibangsakan kepada sahabat, atau tabi'in tanpa menyebut sanad dan tanopa menyaring, sehingga bercampurlah yang hak dengan yang batil
d.      riwayat-riwayat israiliyat yang mengandung dongengan-dongengan yang tidak dapat dibenarkan[40]



         Disisi lain kelemahan dari tafsir bil ma'tsur adalah
a).    Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an menjadi kabur dicelah uraian itu
b).    seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampirdapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya[41]
2. Tafsir bir ra'yi
Kelebihan:
a.       Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
          كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا  اَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka emmperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)
dan firman Allah SAW:
 أَفَلاَيَتَدَبَّرُوْنَ اْلقُرْانَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya : Tidakkah mereka memperhatikan al-Qur'an?bahkan adakah kunci atas hati (mereka) (QS.Muhammad:24)
"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk emmahami makna-maknanya.
b.      Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
 وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِظُوْنَهُ مِنْهُمْ
                        Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di anatar mereka, noscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
                        Istinbath berarti menggali dan mengeluarkan makna-makna yang mendalam yang terdapat di lubuk hati
                        Istinbath itu hanya bisa dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-Qur'an
c.       Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar
d.      Sesungguhnya para sahabat telah emmbaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidakm semua yang mereka katakana tentang al-Qur'an tiu mmereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad[42]

kekurangan:
a).    Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan suatun ilmu, ini jeklas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT
وَاَنْ تَقَولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
                      Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah                                tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui
b).    Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan AL-Qur'an dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
اِتَّقُوا الحَدِيْثَ عَلَيَّ إِلاَّ مَا عَلِمتُمْ فَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
   Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu. barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
c).    Firman Allah SWT
 وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُوْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya (QS.an-Nahl;44)
Pada ayat itu Allah menyandarkan keterangan kepada rasulullah SAW, karena itu dapatlah diketahui bahwa tidak ada bagi selain beliau yang mampu memberikan keterangan terhadap makna-makna al-Qur'an
d).   Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ : وَأَيُّ اَرْضٍ تُقِلُّنِيْ : إِذَا قُلْتُ فِي الْقُرْانِ بِرَأءيِي أَوْ قُلْتُ فِيْهِ بِمَا لاَ اَعْلَمُ
  Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak kuketahui?[43]
         


III KESIMPULAN
1.      Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
2.      Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan sahabat tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab
3.      Tafsir bi al-Ra'yi adalah  upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir
     
4.      Tafsir dibedakan menjadi 2: (1) Tafsir bir ra'yi mahmudah (terpuji) yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur'an (2) Tafsir bir ra’yi amdzmum Tafsir bir Ra'yi ialah tafsir dianggap tercela bila menafsirkan qur'an menurut selera penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa Arab
5.      Tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagi hanya semaunya saja
6.      Jika menfsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan,
7.      Para ulama’ beda pendapat tentang penggunaan tafsir bir ra’yi ada yang menerima dan ada yang menolak.

Sikap Penulis dalam menyikapi Tafsir bil Ma’tsur dan bir Ra’yi
1.      Penulis sependapat dengan argumen yang mengatakan hadis bil ma’tsur derajatnya lebih tinggi dari pada hadis bir ra’yi karena hadis bil ma’tsur ini lebih mengedepankan riwayat dan tidak mengedepankan akal sehingga kevalidan tafsir tersebut lebih bisa dikatakan mendekati kebenarannya
2.      Dalam menyikapi pendapat yang mengatakan tafsir bil ma’tsur para tabi’in ada yang kurang setuju, penulis kira hal itu perlu di kaji dan di teliti lebih dalam, karena penulis beranggapan tentunya para tabi’in tidak serta menerta menafsrikan al-Qur’an jika tidak ada dasar yang kuat dan tentunya juga mengacu kepada pendahulunya yakni sahabat, karena dalam masa tabi’in ini juga masih bisa menjumpai masa-masa sahabat
3.      Tafsir bir Ra’yi tentunya tidak hanya mengandalkan rasio belaka karena tentunya hasil tafsirnya tidak diterima, namun dalam hal ini tafsir bir ra’yi selain juga menggunakan akal juga dikuatkan beberapa dasar seperti al-Qur’an, hadis, pendapat sabahat dan lain-lain
4.      Penggunaan tafsir bir ra’yi pun harus selektif, karena ini bisa dimungkinkan isi dari tafsirnya terdapat subjektifitas dari penulis sehingga perlu dilakukan telaah dan kajian yang mendalam terdahap isi tafsir bir Ra’yi tersebut.
5.      Penulis berpendapat antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir Ra’yi ada titik temunya karena ketika tafsir itu di tinjau dari riwayatnya tidak valid dan ada keragu-raguan, tentunya bisa digunakan penafsiran dengan jalan ijtihad (tafsir bir ’ra’yi) namun ijtihad tersebut di dukung dengan dasar yang menguatkan, seperti al-Qur’an, hadis, dan lain-lain

Daftar Rujukan
Anshori LAL Tafsir bir Ra'yi, Jakarta: GP Pres, 2010
Ash Shiddieqy Tengku Muhammad Hasbi, ilmu-ilmu al-Qur'an, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2002)
Ash-Shabuni Syekh Muhammad Ali, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis Jakarta: pustaka Amani, 2001
Baidan Nashruddin, Wawasan baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Baidan Nasharuddin, Metode Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Muchlas Imam ,Al-Qur'an Berbicara, Surabaya: pustaka Progressif, 1996
Mustaqim Abdul, Aliran-Aliran TAFSIR,Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
Terj Aunur Rafiq, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006)
Shihab Quraish, Membumikan al-Qur'an  Bandung:Mizan, 1999
Syafe’i, Rachmat. Pengantar ilmu tafsir. (Bandung: Pustaka Setia, 2006)
Zenrif MF., Sintesis Paradigma Studi al-Qur'an, Malang: UIN Malang Press, 2008
blogspot.com/2008/12/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html
islam.pusatstudi.com/2010/06/tafsir-bil-matsur.html



 
E. Klasifikasi tafsir bil ma’tasur dan tafsir bil ra’yi

1.Tafsir bi al-Matsur
Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat parasahabat dan dari riwayat para tabi’in. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. Adalam manaa’ul Qaththan.“Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitumenafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahuiKitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnyamenerimanya dari para sahabat.”Tafsir bi al-ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Quran yang dalamoperasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip darihadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in, namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al ra’yi.Hal ini mungkin karena pendapat tabi’in sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnyadalam menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkanaspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yangmenyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu Nabi.Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupidengan menyebutkan riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabi’in banyak yang bergaul dengansahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Quran dari mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalanmetafisika yang berada di luar kemampuan mereka.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-matsur bersumber pada al-Quran, penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabi’in.Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ialah:Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran, penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Hadits,dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Asar yang datang dari para sahabat.

2. Tafsir bi al Ra’yi
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A dalam manna’ul Qaththan.
“Tafsir bi al Ra’yi ialah (tafsir al-Quran) dimana dalam tafsir tersebut mufasir menerangkan maknahanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus dan tidaklah keterangannya itu dari pemahaman yang sesuai dengan jiwa syari’ah dan yang itu berdasarkan nash-nashnya”.Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiransetelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nyadan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di sampingmemperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan Ijtihaddibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmuqiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat danmengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemiiran mufasir sendiri maka seringterjadi perbedaan di antara seorang mufasir dengan mufasir lainnya dibanding tafsir bil al-Matsur,tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menolak corak penafsiran al-Ra’yi ini, seperti halnyaIbn Taimiyah. Ini bukan berarti tafsir corak ini tidak mendapat pendapat tempat di kalangan para
 
ulama. Sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat,syarat-syarat yang dimaksud adalah:
a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. 
b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran
c. Berkaidah yang benar.
d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini, maka seorang mufasir akan terjebak pada penyimpangandalam menafsirkan al-Quran. Di samping itu penerimaan mereka juga didasarkan atas ayat-ayat al-quran sendiri, yang menurut mereka, sering menganjurkan manusia untuk memikirkan danmemahami kandungannya. Ayat-ayat yang mendukungnya, sebagian dikutip al-Shubhi Shalih, diantaranya ayat ke-24 dari surat Muhammad dan ayat ke-29 dari surah shad.Tafsir bi ar-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir ma’qul, yaitu: “Penjelasan- penjelasan yang bersendi pada ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adatistiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya”. Ali As-Sabuni menjelaskan:Artinya:“Yang dimaksud dengan ar-ra’yu di sini adalah ijtihad, karena itu tafsir secara ra’yu berarti tafsir al-Quran berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang Arab dalam berbicara, serta menetahui lafaz-lafaz bahasa Arab dan pengertiannya”.Jadi maksud ra’yu di sini bukan semata-mata pendapat, atau menafsirkan Al-Quran berdasarkankata hati dan hawa nafsu seseorang. Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya telah menuliskan:Artinya:“Siapa yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan imajinasinya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah,maka ia adalah orang yang keliru”.Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar. Berhubungan dengan hal ini, maka senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsip-prinsip yang harus dipegangi dalammenafsirkan Al-Quran bi ar-Ra’yi itu ada empat, yaitu:
a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dha’if dan maudhu. 
b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah marfu.
c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasaArab.
d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai denganketentuannya syara.
e. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar ra’yi, sebahagianmembolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak memperbolehkannya. Masing-masing pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermatternyata perselisihan itu tidak menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja.Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana tafsir bi ar-ra’yi ituada dua macam, yaitu:a. Tafsir bi ar-ra’yi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan ijtihad yang menggunakankaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang. b. Tafsir bi ar-ra’yi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan.

F. Metode dan Corak Tafsir Al-Qur’an
1. Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan. Tafsir al-ijmaliialah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Qur’anmelalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjangdan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.Contoh tafsir ijmali : Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Dinal-Suyuthi, Tafsir Al-qur’anul al-Azhim karya Farid al-Wajdi, Shafwah al-Bayan li Ma’an al-Qur’ankarya Syekh Muhammad Mahlut, Tafsir al-Nuyassar karya Syekh ‘Abd al-Jalil ‘Isa.
 
2. Tafsir metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-qur’an dari seluruh aspeknya. Contoh tafsir tahlili : Kitab Tafasir karya Fachruddin al-Razidan Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari.
3. Tafsir mawdhuiy berarti penafsiran al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Contoh tafsir mawdhu’iy : Kitab Min Huda Al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi Al-Qur’an karyaMahmud al-‘Aqad, al-Riba fi Al-Qur’an karya Abu al-‘Ala al-Muwdudiy, Muqawwamah al-Insan fiAl-Qur’an karya Ibrahim Mhana, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumiy, Tafsir SuratYasin karya Hasan al-Aridh.
4. Tafsir muqarin adalah yafsir yang menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau sesuatu surattertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkanaspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan itu.
5. Tafsir al-Fikhiy atau tafsir al-ahkam adalah corak tafsir yang berorientasi kepada hukum Islam(fiqh). Contoh corak al-fikhiy : Al-Qurthuby Ahkamul Qur’an, As-Shobuny Ahkamul Qur’an danAhkamul Qur’an karya al-Jhissas
6. Tafsir lugawi terkadang disebut tafsir adabi, yaitu tafsir al-Qur’an yang dalam menjelaskan ayat-ayat susi al-Qur’an lebih banyak difokuskan kepada bidang bahasa seperti dari segi I’rab danharakat bacaannya, pembentukan kata, kalimat dan kesusastraan. Contoh tafsir ini : “Al-Kasysyaf”karya Az-Zamakhsyari, Tafsir “Bharul Muhit” karya Al-Andalusi.
7. Tafsir keilmuan adalah penafsiran al-Qur’an tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan alam dan pengetahuan umum.Contoh tafsir ini : Imam Fakhr A-Razi didalam tafsir al-Kabir. Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’a, Imam As-Suyuthi di dalam al-Itqan.
8. Al-Tafsir al-falsafy atau al-tafsir al-rumaziy atau al-tafsir al-‘aqliy adalah tafsir al-Qur’an yang beraliran filsafat, yang pada umumnya difokuskan kepada bidang filsafat dan menyesuaikan pahamfilsafat melalui petunjuk berupa rumus-rumus. Contoh tafsir ini. Fachruddin al-Razi dengankaryanya Mafatihul Ghaib dab az-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf.
9. Tafsir sufiy di bagi dua yaitu :
a. al-Tafsir al-Shufiy al-Nazhariy (teoritis) adalah tafsir yang disusun oleh ulam-ulama yang dalammenafsirkan al-Qur’an berpegang pada teori-teori tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. 
b. Tafsir sufi Faidli atau Isyari Yaitu penafsiran al-Qur’an dalam bentuk perwakilan yang sesuaidengan isyarat-isyarat tersembunyi dari ayat-ayat itu dan tampak bagi kaum sufi tatkala merekamelakukan suluk.Tafsir yang bercorak shufiy adalah Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Abdullah al-Tustury, Haqaiq
 al-Tafsir karya al-‘Alamah al-Sulamiy, ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya Imam al-Syiraziy.10. Tafsir sosiokultur (adabul ijtimia’iy) merupakan penafsiran ayat yang menjelaskan tentang perubahan sosio-budaya yang terjadi di masyarakat dalam perspektif al-Qur’an, menjelaskantentang fitrah kemanusiaan dan sebab-sebab kemajuan dalam sejarah dan menyimpulkannya dari al-Qur’an untuk kemajuan kaum muslimin. Metode tafsir ini jenis ini adalah Muhammad Abduhdengan Tafsir al-Manar. Rasyid Ridha dengan al-Wahyatul Muhammadie.

BAB I
PENDAHULUAN

Para generasi sepeninggal Nabi saw mengelompokkan aliran-aliran tafsir yaitu bil matsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur merupakan tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan pendapat-pendapat nabi. Sahabat dan para ulama sedangkan tafsir bi al-ra’yi berdasarkan akal rasio (akal).
Adanya perbedaan pendapat dari para ulama tentang tafsir bi al-ra’yi menyebabkan harusnya seorang muffasir, memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat dan hal-hal yang harus di hindari.
Beberapa kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur dan bi al-ra’yi yang ada.

BAB II
PEMBAHSAN

Para generasi sepeninggal Nabi saw telah berusaha menafsirkan Al-Quran. Dalam masing-masing periode maupun dalam satu periode itu sendiri mereka telah menggunakan beberapa metode dan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi setempat serta daya serap yang merespon akal mereka dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan atas dasar itulah para ulama mengelompokkan aliran-aliran tafsir, yaitu:

1. Tafsir bi al-Matsur
Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A dalam manaa’ul Qaththan.
هوالذي يعتمد علي صحيح المنقول بالترتيب القران بالقران او بالسنة لانها جائت مبينة لكتاب الله او بماروي عن الصحابة لانهم اعلم لناس بكتاب الله او بما قال كبار التابعين لا نهم تلقو ذلك غالبا عن الصحابة.
Artinya:
“Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.”
Tafsir bi al-ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in, namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al ra’yi. Hal ini mungkin karena pendapat tabi’in sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnya dalam menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkan aspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu Nabi.
Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabi’in banyak yang bergaul dengan sahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Quran dari mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalan metafisika yang berada di luar kemampuan mereka.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-matsur bersumber pada al-Quran, penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabi’in.
Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran, penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Asar yang datang dari para sahabat.
a. Tafsir al-Wuran dengan al-Quran
Sebagaian ayat al-Quran ada yang menafsirkan ayat al-Quran yang lainnya. Dalam hal ini ada beberapa cara, yaitu adakalanya dalam satu ayat disebutkan dengan ringkas dan ayat yang lain diuraikan, disatu ayat besifat umum dalam ayat lain dikhussukan, ayat yang lain diuraikan, di satu ayat bersifat umum dalam ayat lain dikhususkan, ayat yang lain disebutkan secara mujmal dan lainnya dalam bentuk muqayyad. Kitab yang menggunakan cara ini seperti karya Muhammad Amin Asy-Syanqithi “adwa” al-bayan fi idah Al-Quran bi Al-Quran”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka hendaklah seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Quran melihat terlebih dahulu semua ayat Al-quran untuk mengetahui beberapa ayat yang sama-sama menyangkut sebuah topik dan mengkaitkannya antar satu dengan yang lainnya, guna memperoleh keterangan mengenai ayat yang disebutkan dengan ringkas dan terperinci, kejelasan mengenai ayat mujmal, ayat mutlak dan muqayyad. Cara penafsiran semacam ini merupakan cara yang paling baik. Demikian ditegaskan Ibn Kasir.
Contoh tasir al-Quran dengan al-quran:
æt=nø3äNö ƒãF÷=n4 Bt$ )Îwž #${FR÷èy»OÉ 5ukÍŠJypè 9s3äN &émÏ=¯Mô 4
Artinya:
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”(QS. Al-Maidah: 1).
Telah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat yang sama:
/ÎmϾ #$!« 9ÏótöŽÎ &édÏ@ruBt$! #$:øƒÏỸÍ ru:mtøNã ru#$!$¤Pã #$9øJyŠøGtpè æt=nø3äNã mãhÌBtMô
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”(QS. Al-Maidah: 3).
b. Tafsir al-Quran dengan hadits
Yang kedua dari tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Quran dengan hadits (sunnah Nabi). Hal yang demikian dilakukan jika tidak bisa lagi dilakukan dengan cara menafsirkan Alquran maka hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih bersifat global (bayan al-Taudhi), juga mengkhususkan (takhsis), dan menghapus (nasakh).
Contoh tafsir Al-quran dengan Hadits: firman Allah tentang kewajiban shalat, antara lain:
واقيموا الصلوة.... (البقرة: ٤٣)
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah: 43).
Ditafsirkan dengan fi’liyah dan qauliyah, sabda nabi saw:
صلوا كما رايتموني صلي
Artinya:
“Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
c. Tafsir Al-Quran dengan qaul sahabat
Jika tidak ditemukan penafsiran dengan Al-Quran maupun hadits Nabi, maka hendaknya mufassir kembali kepada keterangan-keterangan yang shahih dan penjelasan-penjelasan sahabat terkemuka, kaerna merekalah yang berkumpul bersama Rasul, mendapatkan pendidikan darinya dan menghayati petunjuk-petunjuknya, mereka pulalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran.
Contoh tafsir sahabi firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 2:
انه كان حوبا كبيرا (النساء: ٢)
Artinya:
“Sesungguhnya tindakan-tindakan ”
Ibnu Abbas telah menafsirkan kata “HUB” dengan “ISMUN KABIR” (dosa besar).
Adapun tafsir yang datang dari tabi’in, para ulama berbeda pendapat, ada yang menggolongkan ke dalam tafsir bi al-ma’tsur dan ada pula yang menggolongkan dalam kelompok tafsir bi ar-ra’yi .
Tafsir bi al-ma’tsur ini mempunyai kedudukan paling tinggi, kecuali tafsir bi al-ma’sur yang datang dari sahabat atau tabi’in, karena sedikit banya telah dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan mereka dan sering bercampur dengan cerita-cerita isra’iliyah.
Tempat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al ma’tsur.
a. Al-quran yang dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap Al-Quran sendiri.
b. Otoritas hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelasan (mubayyin) Al-Quran.
c. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran.
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur menurut Quraisy Shihab sebagai berikut:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c. Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
Menurut Adz-Dzahabi ada beberapa kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut:
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
b. Penghilangan sanad
c. Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.
d. Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
e. Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran.
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas).

2. Tafsir bi al Ra’yi
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A dalam manna’ul Qaththan.
هو يعتميد فيه المفسر في بيان المعن علي فهمه الخاص واستنباطه باارأي المجرد وليس عن الفهم الذي يتفق مع روح الشريعة ويستند الي نصزصها.
Artinya:
“Tafsir bi al Ra’yi ialah (tafsir al-Quran) dimana dalam tafsir tersebut mufasir menerangkan makna hanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus dan tidaklah keterangannya itu dari pemahaman yang sesuai dengan jiwa syari’ah dan yang itu berdasarkan nash-nashnya”.
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan Ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemiiran mufasir sendiri maka sering terjadi perbedaan di antara seorang mufasir dengan mufasir lainnya dibanding tafsir bil al-Matsur, tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menolak corak penafsiran al-Ra’yi ini, seperti halnya Ibn Taimiyah. Ini bukan berarti tafsir corak ini tidak mendapat pendapat tempat di kalangan para ulama. Sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat, syarat-syarat yang dimaksud adalah:
a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran
c. Berkaidah yang benar.
d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini, maka seorang mufasir akan terjebak pada penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran. Di samping itu penerimaan mereka juga didasarkan atas ayat-ayat al-quran sendiri, yang menurut mereka, sering menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Ayat-ayat yang mendukungnya, sebagian dikutip al-Shubhi Shalih, di antaranya ayat ke-24 dari surat Muhammad dan ayat ke-29 dari surah shad.
Ada beberapa contoh penafsiran yang keliru dalam penggunaan corak tafsir al-ra’yi, misalnya penafsiran kalam syi’ah terhadap ayat ke-33 dari surat al’waqi’ah:
يمعشر الجن والانس ان استطعتم ان تنفذوا من اقطار السموات والارض فانفذوا لاتنذون الا بسلطان.
Artinya:
“Wahai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lakukanlah, niscaya kamu tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan kekuatan” ....
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para scientis memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya (ayat ke-31) berbunyi:
سنغرع لكم ايها الثقلان
Artinya:
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu, wahai manusia dan jin”,
Dan ayat sesudahnya (ayat ke-35) berbungyi:
يرسل عليكم شواظ من نار ونخاس فلاتنتصيران
Artinya:
“Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskannya nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya)”.
Kedua ayat tersebut berbicara masalah hari kiamat, demikian pula ayat sesudahnya oleh karena itu, penafsiran demikian jelas menyimpang dan terkesan di paksakan.
Tafsir bi ar-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir ma’qul, yaitu: “Penjelasan-penjelasan yang bersendi pada ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya”. Ali As-Sabuni menjelaskan:
المراد بالرأي هنا الاجتهاد وعليه فالتفسير بالرأي معناه تفسير القران بالاجتهاد بعد معرفة المفسر لكلام العرب واسلوبهم في الخطاب و معرفته للالفاظ العربية ووجوه دلالتها.
Artinya:
“Yang dimaksud dengan ar-ra’yu di sini adalah ijtihad, karena itu tafsir secara ra’yu berarti tafsir al-Quran berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang Arab dalam berbicara, serta menetahui lafaz-lafaz bahasa Arab dan pengertiannya”.
Jadi maksud ra’yu di sini bukan semata-mata pendapat, atau menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati dan hawa nafsu seseorang. Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya telah menuliskan:
فان من قال فيه بما سنح في وهمه وخطر علي باله من غير استدلا ل عليه بالاصول فهو مخطئ
Artinya:
“Siapa yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan imajinasinya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah orang yang keliru”.
Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar. Berhubungan dengan hal ini, maka senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsip-prinsip yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Ra’yi itu ada empat, yaitu:
a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dha’if dan maudhu.
b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah marfu.
c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab.
d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuannya syara.
Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar ra’yi, sebahagian membolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak memperbolehkannya. Masing-masing pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermat ternyata perselisihan itu tidak menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja. Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana tafsir bi ar-ra’yi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tafsir bi ar-ra’yi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang.
b. Tafsir bi ar-ra’yi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan.
Sejak awal digagas, legalitas tafsir bi ar-Rayi telah menjadi bahan perdebatan dari berbagai kalangan. Argumentasi kelompok penentang:
o Penafsiran melalui perangkat ra’yu tidak akan membuahkan interpretasi maksimal (al-mutayaqqan ishabatuh), maksimal hanya sampai taraf akurasi kesimpulan-kesimpulan yang tidak lebih dari sekedar persangkaan tanpa dasar ilmu yang jelas dan tegas, di mana hal ini dilarang oleh Allah I. Dalam firman-Nya:
قل انما حرم ربي الفواحش ما ظهرمنها وما بطن والاثم والبغي بغير الحق وأن تقولوا علي الله ما لاتعلمون.
Artinya
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melenggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.
o Penafsiran al-Quran sudah diturunkan oleh Allah I. Dalam al-Quran sendiri atau lewat hadis-hadis nabi sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya.
وانزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم زلعلهم يتفكرون
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
o Disamping itu, penafsiran dengan ra’yu juga dilarang, sabda nabi dalam HR. Turmudzi.
ومن قال في القرأن برأية فايتبوأ مقعده من النار
Artinya:
“Dan barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan akalnya, maka pergi dan bersemayamlah di neraka”.
o Adanya riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang bersikap membatasi diri dalam menafsirkan al-Quran dengan logikanya, karena khawatir akan mengantarkan pada penafsiran yang tidak dikehendaki Allah swt.

3. Sumber Penafsiran Tafsir Bir Ra’yi
a. Riwayat-riwayat shahih yang dikutip dari Nabi dengan tetap mengedepankan sikap selektif terhadap hadits-hadits yang lemah dan palsu. Jika terdapat suatu riwayat yang shohih, maka tidak diperbolehkan menafsirkan dengan metode ra’yu.
b. Mengambil pendapat sahabat. Sebab ijtihad penafsiran yang dilakukan para sahabat setingkat dengan hadits marfu.
c. Makna asli dari bahasa arab, mengingat al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab dengan catatan mufassir harus tetap memperhatikan makna mayoritas yang terlaku dikalangan bangsa arab.
d. Tuntutan Kandungan makna dari susunan kalimat sesuai dengan prinsi-prinsip syariat.

4. Hal-hal yang Harus Dihindari Oleh Seorang Mufassir bi Ar-Ra’yi.
Seorang mufasir agar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sampai tergelincir dalam jurang kesesatan sehingga akan masuk dalam kategori tafsir bi ar-ra’yi yang tertolak maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:
o Mengemukkan maksud dari firman Allah tanpa di bekali pengetahuan kaidah-kaidah bahasa serta ilmu syariat secara lengkap dan memadai.
o Mengarahkan kandungan makna al-Quran berdasarkan madzhab yang rusak dan sesat.
o Menetapkan dengan tegas bahwa maksud Allah swt. Demikian tanpa ada tendensi dalilnya.
o Menafsirkan al-Quran hanya untuk menuruti hawa nafsu atau sangkaan-sangkaan yang dianggap benar.

5. Metodologi Tafsir Bi Ar-Ra’yi.
Sebelum seorang mufassir terjun dalam menafsiri al-Quran bi ar-ra’yi ia harus mengetahui dahulu tahapan yang harus ditempuh dalam menafsirkan al-Quran bi ar-ra’yi supaya hasil pentafsirannya – kalau tidak dikatakan melenceng dari ketentuan syariat – paling tidak mendekati kebenaran. Maka tidak diketemukan, maka beralih pada as-sunnah dan atsarusshohabah sebagai tahapan berikutnya. Dalam hal tidak adanya tiga sumber penafsiran di atas, barulah bagi mufassir boleh menafsirkan al-Qur’an bi ar-ra’yi, dengan berpedoman pada kaidah-kaidah sebagaimana berikut:
a. Memulai alur pembicaraan sesuai dengan susunan kalimat dari sisi I’rab dan balaghah.
b. Mendahulukan makna hakiki dari makna majazinya.
c. Memperhatikan sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabunnuzul).
d. Memperhatikan korelasi antara ayat pertama dan setelahnya.
e. Memperhatikan tujuan dasar dari runtutan suatu ayat.
f. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sejarah manusia secara umum ataupun khusus dikomunitas bangsa Arab.
g. Dalam menjelaskan makna dan istimbat hukum tetap berjalan di atas prinsip-prinsip kaidah bahasa, syariat dan ilmu pengetahuan.
h. Mengikuti aturan-aturan tarjih tatkala menemukan beberapa keberagaman makna.
Beberapa tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazin.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Tafsir bi al ma’tsur yang di sebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul. Yaitu tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan pendapat-pendapat Nabi, sahabat dan ulama.
2. Tafsir bi al-ra’yi disebut juga tafsir dirayah yaitu tafsir yang menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan akal (rasio) intelektual.
Penafsiran bi al ma’tsur yaitu dengan
1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran.
2. Penafsiran al-Quran dengan hadits
3. Penafsiran al-Quran dengan qaul sahabat.
syarat-syarat seorang mufasir tafsir bi al ra’yi.
1. Menguasai bahasa arab dan cabang-cabangnya
2. Menguasai ilmu-ilmu Alquran
3. Berakidah yang benar
4. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
Kitab-kitab tafsir bi al matsur diantaranya:
Tafsir ibnu Jarir, tafsir Abu Laits as Samarkandy, tafsir ad Daratul Ma’tsur fit Tafsiri bil ma’tsur, tafsir Ibnu Katsir, tasfir al-Baghawi dan tafsir Baqy ibn Makhlad, asbabun nuzul dan an-Nasih wa mansukh.
Kitab-ktiab tafsir bi al ra’yi
Tafsir al Jalalain, tafsir al-Baidhawi, tafsir al-Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir an- Nasafy, tasfir al Khatib, tafsir al-Khazin

DAFTAR PUSTAKA


Syadah Ahmad, Rofi’i Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000
Anwar Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000
Ahmad Musthafa Hadna, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang, Dina Utama, 1993.
Supiana, Karman, Ulumul Qur’an, Pustaka Islamika, Bandung, 2002.
Wap.islami.com




 [1]Anshori LAL Tafsir bir Ra'yi, (Jakarta: GP Pres, 2010) hlm v.
[2]  MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur'an, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm22
[3] Terj Aunur Rafiq, pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006) hlm 434
[4]Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: pustaka Amani, 2001)hlm  106
[5] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni 106
[6]  Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm 373
[7] Nasharuddin baidan, Metode Penafsiran Al-Qur'an, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)hlm 40-40
[8] Terj Aunur Rafiq, op.Cit hlm 426
[9] Terj Aunur Rafiq ibid hlm 426
[10] Terj Aunur Rafiq Op.Cit hlm 414-417
[11] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Op.Cit 100
[12] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ibid 102
[13] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran TAFSIR,Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hlm 43
[14] islam.pusatstudi.com/2010/06/tafsir-bil-matsur.html
[15] blogspot.com/2008/12/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html
[16]Nasharuddin Baidan Op.Cit  hlm 446
[17] Nashruddin Baidan, hlm 337
[18] Nasharuddin Baidan Metode Penafsiran Al-Qur'an Op.Cit hlm4 46
[19] Anshori LAL, Op.Cit hlm 1
[20]Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni op.cit hlm 249
[21] Terj Aunur Rafiq Op.Cit hlm 441
[22] Imam Muchlas ,Al-Qur'an Berbicara (Surabaya: pustaka Progressif, 1996) hlm 55
[23] Anshori LAL Op.Cit, hlm 12-14
[24] Ibid, hlm 40
[25] Ibid, hlm 41
[26] Anshori LAL Op.Cit, hlm 42
[27] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni  op.cit hlm 254
[28] Anshori LAL Op.Cit, hlm 10
[29] Ibid, hlm 11
[30] blogspot.com/2008/12/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html
[31] Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir hlm 374
[32]  Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an ( bandung:Mizan, 1999) hlm 84
[33] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni  op.cit hlm 106
[34] Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir hlm 375
[35] Rachmat Syafe’i. Pengantar ilmu tafsir. (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm 107
[36] Ibid 117
[37] Ibid 114
[38] Ibid
[39] Rachmat Syafe’i op. Cit hlm 115
[40] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu-ilmu al-Qur'an, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2002) hlm 226
[41]  Quraish Shibab Op.Cit hlm 84
[42]Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni  op.cit hlm 270
[43] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni  op.cit hlm 268

1 komentar: